Kebudayaan memainkan peran yang sangat fundamental dalam kehidupan umat manusia dari zaman ke zaman. Di segala penjuru dunia kebudayaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah dan perkembangan berbagai suku bangsa. Setiap peradaban diawali dan digerakkan oleh proses budaya yang muncul dari pemikiran serta tindakan- tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan hidup, kemudian bergerak ke tahap peningkatan kualitas hidup serta menuju kepada warisan-warisan umat manusia antar generasi (Koentjaraningrat, 1993).
Sebuah entitas budaya dapat bertahan dalam terpaan angin perubahan maupun tantangan entitas budaya lain ketika dapat menyesuaikan diri dengan waktu, manusia, dan konteks di mana budaya tersebut berada. “Survival for the fittest” adalah suatu keniscayaan dalam siklus kehidupan manusia artinya yang bertahan adalah yang paling dapat menyesuaikan diri (Claeys, 2000). Konsep ini juga berlaku bagi entitas budaya Papua secara khusus sastra lisan yang merupakan warisan bernilai tinggi dari leluhur orang Papua. Apakah sastra lisan Papua mampu bertahan dari gempuran globalisasi sastra modern?
Sastra lisan Papua merupakan sumber daya budaya yang menjadi salah satu penciri identitas kePapuaan. Warisan sastra lisan sebagai bagian dari warisan budaya dan bahasa Papua secara umum merefleksikan kepercayaan dan filosofi hidup orang Papua sehingga sangat layak untuk dilestarikan karena bila mengalami kepunahan maka warisan budaya antar generasi menjadi semakin tidak lengkap. Sastra lisan berisikan pengajaran dan kearifan lokal yang menjadi salah satu panduan hidup manusia (Winarti dan Amri, 2020).
Salah satu cerita sastra lisan Papua adalah Manarmakeri, suatu mitos tentang seseorang bernama Manarmakeri yang berasal dari Biak yang badannya penuh kudis tetapi memiliki kekuatan supernatural. Cerita ini berkembang di kawasan Teluk Cenderawasih, Papua (Asmabuasappe, 2004).
Satu lagi contoh cerita rakyat Papua yang cukup sering dikisahkan dalam kehidupan orang Papua antar generasi adalah Asal Usul Burung Cenderawasih yang mengisahkan seorang anak bernama Kewiya yang dibenci oleh saudara tirinya hingga tersesat di hutan, namun kemudian dia dan ibunya berubah wujud menjadi burung Cenderawasih yang indah dengan sayap terbuat dari pintalan benang yang berasal dari kulit hewan yang diburu oleh Kweyai.
Dalam kedua cerita rakyat di atas terkandung pesan moral bagi generasi muda Papua sebagai panduan untuk menjalani kehidupan meskipun tentunya terdapat konteks yang sangat berbeda dari situasi waktu, tempat, dan budaya di mana cerita rakyat tersebut hidup dan bertahan.
Cerita Manarmakeri sedikit banyak mengajarkan tentang keteguhan hati dan kemampuan untuk bertahan dalam situasi hidup yang sulit, baik secara individu maupun secara sosial. Kemampuan Manarmakeri untuk mempertahankan prinsip, kepercayaan, dan perikehidupannya yang mendapatkan penolakan bahkan pengucilan dari lingkungan sekitarnya sehingga harus berpindah- pindah dan akhirnya menetap di daerah yang kemudian dikenal sebagai Pulau Numfor.
Tentunya pesan- pesan moral ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan modern yang penuh dengan persaingan, intrik, dan perubahan yang cepat. Pemahaman yang baik tentang filosofi cerita tersebut dapat membentuk orang- orang muda Papua menjadi pribadi- pribadi yang tangguh namun tetap memiliki prinsip serta kebanggaan sebagai orang Papua.
Sementara itu pada cerita Asal Usul Burung Cenderawasih didapati pesan- pesan moral tentang persaudaraan, keluarga, cinta, dan pengorbanan. Kweyai yang dibenci oleh saudara- saudara tirinya karena cemburu menjadi korban pengucilan dan tersesat di hutan dan harus berjuang sendiri mempertahankan hidup. Sang ibu kandung, Baria, yang merasa kehilangan anak mencari Kweyai sampai ke hutan atas dasar cinta dan naluri keibuannya. Ketika bertemu dgn Kweyai yang sudah berubah wujud menjadi burung Cenderawasih, Baria memutuskan untuk ikut berubah wujud agar tetap selalu bersama anak kandungnya.
Kemudian Baria pun ikut berubah wujud menjadi burung Cenderawasih yang berbulu indah dan bersama- sama mereka terbang dalam kebebasan di udara dan berkelana dari satu hutan ke hutan lain. Pesan moral yang kuat dari cerita tersebut tentunya bisa pula menjadi motivasi bagi generasi muda Papua untuk menjauhkan diri dari sikap dan sifat iri, namun juga tetap tangguh menghadapi tantangan hidup sekalipun berasal dari keluarga sendiri.
Burung Cenderawasih yang berbulu indah dan hidup bebas di alam merupakan simbol kekuatan serta kebahagiaan setelah mengalami pengalaman-pengalaman hidup yang tidak menyenangkan. Hal ini mengajarkan bahwa semua manusia membutuhkan proses yang tidak mudah dalam usaha dan upaya mencapai kesuksesan dan kebahagiaan.
Cerita-cerita rakyat yang diwariskan secara lisan dari mulut ke mulut membutuhkan momen dan suasana yang mendukung sehingga dapat disampaikan dengan baik dan pesan- pesan moral di dalamnya juga dapat diserap, diingat, dan dihayati oleh generasi selanjutnya (Juwita, 2018). Momen atau suasana dimaksud antara lain, bercerita menjelang tidur di malam hari, di waktu kumpul keluarga, baik keluarga kecil maupun dalam skala yang lebih besar, dan acara- acara ritual adat suku.
Namun seiring perkembangan zaman momen- momen tersebut semakin jarang dimanfaatkan oleh orang tua untuk membagikan cerita rakyat kepada anak- anaknya. Kesibukan aktifitas hidup dan terputusnya rantai pewarisan dari generasi yang lebih tua menjadi kendala dan tantangan tersendiri bagi para orang tua generasi sekarang untuk mewariskan cerita- cerita rakyat kepada generasi yang lebih muda.
Belum lagi gempuran sastra modern yang semakin gencar di mana generasi muda memiliki opsi bacaan cerita yang merefleksikan kehidupan kebudayaan modern yang juga semakin mudah diakses lewat media massa dan yang terkini, media sosial digital berbasis internet. Tawaran kisah- kisah imajinatif yang menarik yang merefleksikan pola pikir dan kehidupan modern semakin menarik bagi generasi muda karena nyaris semua aspek kehidupan di zaman ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh modernisasi.
Kehidupan modern dan globalisasi sebagai keniscayaan perubahan peradaban dan budaya menawarkan berbagai kemudahan. Dengan semakin terkoneksinya aspek hidup manusia terutama budaya dan ekonomi maka semakin mudah pula mengakses dan menikmati berbagai kebutuhan primer, sekunder, dan bahkan tertier. Kebutuhan akan hiburan dan relaksasi dari rutinitas atau tekanan kehidupan yang dihadapi umat manusia setiap hari kini juga nyaris menjadi kebutuhan primer.
Keseimbangan hidup selain makan, bekerja, belajar, berolahraga, beristirahat, bersosialisasi, dan berlibur mulai mengarah kepada mengisi waktu luang atau bahakan menyediakan waktu khusus untuk menikmati hiburan di sela- sela kesibukan hidup. Buku dan atau karya sastra dalam format tulisan tentunya menjadi opsi yang dipilih oleh umat manusia sejak zaman ditemukannya mesin cetak di mana umat manusia dapat menikmati rekaman dan dokumentasi ilmu pengetahuan, petualangan, dan cerita- cerita fiksi imajinatif dengan lebih mudah.
Karya- karya pengarang ternama dunia semisal Shakespeare, Dickens, Twain, Allan Poe, Hemingway, Agatha Christie, Stephen King, J.K. Rowling dan sebagainya semakin mudah diakses tidak hanya dengan membeli di toko buku tetapi juga dapat dinikmati juga dalam versi digital melalui media berbasis elektronik dan komputer, bahkan juga melalui telepon seluler dengan aplikasi membaca file digital baik secara online maupun offline.
Karya- karya sastra modern juga mengandung nilai- nilai moral yang tentunya mewakili penulis dan kebudayaan yang ada di latar belakangnya (Endraswara, 2017). Kisah- kisah kerajaan, petualangan mengelilingi dunia, kehidupan di berbagai peradaban di berbagai peradaban dunia, intrik politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, percintaan, sihir, misteri, detektif, kemajuan teknologi dan banyak tema lainnya tentunya sangat menarik bagi generasi muda yang membutuhkan bacaan imajinatif sekaligus edukatif.
Namun banyak pula yang membawa pesan- pesan kebebasan dan keterbukaan pola pikir serta pola tindak Barat yang secara langsung berseberangan dengan prinsip- prinsip moral di Indonesia dan juga di Papua.
Oleh karena itu sangat dibutuhkan filter yang baik dan tegas yang diterapkan oleh orang tua dan kalangan pendidik baik formal maupun informal (sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga adat) melalui pengajaran dan teladan perkataan serta perbuatan dalam kehidupan baik di rumah maupun di luar rumah.
Pengaruh yang timbul dari sedemikian derasnya pengaruh budaya barat yang beragam semakin hari semakin terasa dalam kehidupan generasi muda Papua terutama entitas musik, fashion, bahasa, dan gaya pergaulan. Kondisi ini sedikit banyak bermuara pada dilema identifikasi jati diri generasi muda Papua.
Di satu sisi secara budaya dan wilayah asal usul adalah Papua dengan keragaman budaya yang kuat, di sisi lain menyerap dan menyesuaikan dengan kehidupan modern sebagai efek dari semakin terbukanya aliran informasi dan teknologi. Kondisi ini menjadi tantangan bagi semua pemangku kepentingan yang secara langsung maupun tidak langsung menentukan keberlangsungan eksistensi budaya Papua secara khusus pelestarian sastra lisannya.
Menjawab pertanyaan terkait eksistensi sastra lisan Papua di tengah gempuran sastra modern menjadi semakin penting di era sekarang dan berfungsi sebagai perenungan yang mendalam bagi semua generasi orang Papua. Tentunya sastra lisan Papua wajib dilestarikan dan jangan sampai dibiarkan punah.
Kesadaran ini sangat penting karena sebagai warisan budaya yang secara langsung berdampingan dengan bahasa daerah, eksistensi sastra lisan Papua sudah sewajarnya mendapatkan perhatian serius dari semua pihak.
Setiap generasi tentunya ingin mewariskan entitas budaya yang berharga dan dapat berfungsi sebagai panduan pola pikir serta pola tindak generasi selanjutnya. Warisan sastra lisan Papua adalah salah satu penciri identitas kePapuaan generasi muda Papua dengan balutan kebanggaan sebagai anak Papua yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan serta keahlian untuk bersaing di era global ini, namun juga mampu menampilkan diri sebagai generasi yang mencintai budayanya sekaligus ikut melestarikan sastra lisan warisan orang tua dari generasi ke generasi. Sekian.
Oleh: Leon Agusta, S.S., M. Eng. Lit.
(Dosen Universitas Papua)











