MANOKWARI, LinkPapua.id – Dewan Pengurus Pusat Barisan Masyarakat Pengembangan Peningkatan Pembangunan Indonesia (DPP BMP2I) Papua Barat menyatakan dukungan penuh kepada Marga Ateta dari Suku Sumuri yang menolak proyek perkebunan sawit PT Borneo Subur Prima (PT BSP) di Kabupaten Teluk Bintuni. Aksi masyarakat adat itu bahkan berhasil menghentikan sidang penilaian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PT BSP di Hotel Stenkool.
“Itu hak asasi manusia Marga Ateta,” ujar Sekretaris Umum DPP BMP2I Papua Barat, Markus Fatem, dalam keterangannya, Sabtu (11/10/2025).
Markus menegaskan penolakan tersebut dijamin undang-undang. Ia menyebut dasar hukumnya terdapat dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang telah diubah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2021, yang menegaskan penghormatan hak-hak dasar Orang Asli Papua (OAP).


Dia menjelaskan, penghormatan itu mencakup wilayah adat, agama, serta hak perempuan, pemuda, dan penduduk Papua. Menurutnya, masyarakat adat berhak menentukan nasib hidupnya sendiri serta memiliki hak atas kekayaan intelektual di tanah leluhurnya.
Aktivis lingkungan ini menilai masih banyak persoalan dalam proses perizinan PT BSP. Ia menyebut ada indikasi kurangnya transparansi dan dugaan pendekatan tersendiri ke sebagian pihak di komunitas, yang justru memicu konflik internal antaranggota marga.


“Kami meminta pemerintah daerah hati-hati dalam menerbitkan rekomendasi lingkungan agar tidak menimbulkan sengketa agraria yang lebih luas,” ucapnya.
Markus menyebut rencana PT BSP mencakup lahan luas di Distrik Aroba dan Distrik Sumuri. Wilayah itu melibatkan beberapa marga seperti Motombri, Susure, Kasina, dan Ateta, dengan total ribuan hektare berdasarkan dokumen investigasi lapangan lembaga advokasi.
Ia mengatakan penolakan masyarakat adat dan investigasi organisasi sipil telah berlangsung sejak Mei hingga Juli 2025. Aktivitas ini menjadi bentuk perlawanan terhadap ekspansi sawit yang dinilai mengancam ruang hidup masyarakat adat.
“Hal ini harus disikapi secara arif, baik, dan bijaksana sehingga tidak menimbulkan konflik berpanjangan dalam komunitas masyarakat adat,” sebutnya. (*/red)























