MAYBRAT, LinkPapua.id – Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, diminta bertanggung jawab atas ricuh yang terjadi di Sorong. Pernyataan Kambu dinilai memicu bentrokan antara aparat keamanan dan masyarakat sipil.
Ricuh itu berujung pada penangkapan empat anggota Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB) serta sejumlah aktivis dan mahasiswa. Seorang warga sipil juga tertembak hingga mengalami luka serius.
“Kami melihat rentetan peristiwa ini berawal dari pernyataan Pak Gubernur terkait penambangan di Raja Ampat seolah-olah tidak merusak lingkungan,” ujar Ketua PA GMNI DPC Kabupaten Maybrat, Yonas Yewen, Minggu (31/8/2025).


Pernyataan lainnya, kata dia, soal surat masuk presiden NFRPB. Surat itu diantar staf khusus presiden NFRPB, dikawal polisi NFRPB, dan TN NFRPB secara damai ke kantor Wali Kota dan Gubernur Papua Barat Daya. Namun, buntutnya empat orang ditangkap dan kini jadi tahanan politik.
Kemudian, muncul pasca pemindahan empat tahanan politik ke Makassar. Rumah dinas dan mobil dinas plat PEYE 01 PBD milik gubernur dilempari batu hingga rusak sehingga gubernur mengeluarkan pernyataan yang membuat situasi di Papua Barat Daya, khususnya Sorong, tidak aman.


Menurut Yonas, gubernur seharusnya menyampaikan pernyataan yang menyejukkan. Bahasa yang keliru justru membuat situasi semakin panas.
“Beliau keliru dalam pernyataan. Masalah Papua merdeka adalah isu sensitif, terkait geopolitik, ideologi, dan HAM. Semestinya beliau berhati-hati dalam penyampaian pernyataan ke publik agar tidak blunder seperti sekarang. Situasi yang terjadi saat ini adalah akibat kelalaian komunikasi,” katanya.
Sorotan juga diarahkan ke Majelis Rakyat Papua Barat Daya (MRPBD). Lembaga itu dinilai gagal total mewakili aspirasi orang asli Papua.
“Saran kami lembaga MRPBD dibubarkan saja karena hanya menghabiskan anggaran negara dan tidak berfungsi sebagai lembaga kultur OAP,” sebutnya.
Direktur Eksekutif Papuan Observatory Human Right (POHR), Thomas CH Syufi, juga mengkritik Gubernur Elisa Kambu. Menurutnya, gubernur seharusnya fokus pada tupoksi kerja, bukan mengurus isu makar.
“Rusuh terjadi saat berlangsung aksi demonstrasi damai masyarakat dan aktivis pro-demokrasi Papua terkait pemindahan empat tahanan politik Papua dari Pengadilan Negeri Sorong ke Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan,” bebernya.
Mereka adalah Abraham Goram Gaman (AGG), Maksi Sangkek (MS), Piter Robaha (PR), dan Nikson May (NM). Dia melihat sejumlah pernyataan gubernur yang mendukung proses hukum terhadap demonstran adalah sesuatu yang keliru dan menyesatkan.
Thomas menegaskan gubernur seharusnya menjadi pengayom bagi seluruh masyarakat. Namun, pernyataan Kambu justru memberi legitimasi pada tindakan represif aparat.
“Gubernur jangan membuat pernyataan publik yang menyakitkan perasaan korban. Sebaiknya dia memperbaiki komunikasi publik yang selama ini menyudutkan masyarakat,” terangnya.
Mantan Direktur Yayasan LBH Papua, Emanuel Gobay, juga menilai gubernur bertanggung jawab. Sebagai Ketua Forkopimda, gubernur disebut tidak bisa lepas dari tragedi di Sorong.
“Gubernur selaku ketua forkopimda wajib bertanggung jawab atas semua kejadian di Sorong,” tegasnya. (*/red)


























