JAKARTA, LinkPapua.id – Rektor Universitas Caritas Indonesia (UNCRI) Manokwari Prof Roberth KR Hammar mengungkap data soal pendidikan di Papua. Dia menyebut 35% mahasiswa di Papua drop out karena tidak mampu membayar uang kuliah.
Prof Roberth menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara pada HUT ke-6 Ikatan Dosen Katolik Indonesia (IKDKI) di Aula Universitas Tarumanagara (UNTAR), Jakarta, Minggu (23/11/2025). Menurutnya, persoalan biaya kuliah menjadi pukulan berat bagi perguruan tinggi swasta di Papua.
“Angka ini bukan statistik, tetapi wajah-wajah yang berhenti di tengah jalan, bukan karena tidak mampu belajar, melainkan tidak mampu bertahan secara ekonomi,” ujarnya.
Menurutnya, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah harus diperkuat agar mahasiswa tidak terhenti di tengah studi. Dia bahkan meminta bantuan tersebut disalurkan langsung oleh kementerian tanpa melalui jalur yang berpotensi dipolitisasi.
“Sebaiknya bantuan ini langsung didistribusikan oleh kementerian kepada mahasiswa,” katanya.

Dalam paparannya, Prof Roberth juga menyinggung minimnya tenaga pendidik Katolik di Papua. Dia menyebut hanya ada sekitar 40 dosen Katolik dari total 50-an perguruan tinggi di Papua Barat dan Papua Barat Daya.
Menurutnya, kondisi itu menjadi tantangan besar dalam pengembangan sumber daya manusia di wilayah timur Indonesia. Meski demikian, dia optimistis percepatan bisa dicapai lewat peran IKDKI.
Dia memaparkan bahwa ada 15 dosen di Papua yang kini berada pada jenjang lektor kepala. Menurutnya, mereka tidak lama lagi bisa mencapai puncak akademik sebagai guru besar.
Namun, tantangan pendidikan di Papua disebut tidak sesederhana angka dan jenjang akademik. Prof Roberth membeberkan kualitas calon mahasiswa yang berbeda-beda akibat ketimpangan akses pendidikan antarwilayah.
Mereka yang terbaik biasanya lolos ke kampus besar seperti UI, UGM, dan Unhas. Sisanya masuk ke PTS luar Papua atau PTS kecil di Papua yang masih berjuang dengan standar mutu terbatas.
Prof Roberth menyebut kebutuhan utama Papua saat ini adalah laboratorium pendidikan. Dia mengatakan tanpa laboratorium, kampus-kampus di Papua akan terus menjadi penonton dalam arus besar ilmu pengetahuan.
Dia juga menyinggung pentingnya kehadiran dosen DPK untuk kampus swasta. Prof Roberth mengaku sedang membangun komunikasi dengan Kemenpan-RB dan BAKN agar regulasi soal penempatan dosen bisa lebih fleksibel.
Di akhir sesi, Prof Roberth mengajak seluruh pihak melihat Papua dengan perspektif masa depan. Dia menegaskan pembangunan manusia Papua adalah inti dari seluruh upaya pendidikan.
“Membangun Papua bukan hanya membangun gedung kampus, tetapi membangun manusia yang percaya bahwa mereka layak bersaing,” ucapnya. (*/red)








